Sinar dari Amerika Selatan
Belakangan ini saya baru berkenalan dengan penulis asal Brazil, Paulo Coelho, lewat karyanya tentunya. Saya akui perkenalan ini belum sempurna, sebab buku yang pertama saya baca bukanlah master piece darinya: The Alchemist, melainkan Like the Flowing River (buku ini sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Seperti Sungai yang Mengalir). Namun justru dari situlah saya manaruh iri padanya.
Coelho banyak bercerita tentang sepenggal kisah hidupnya
yang penuh dengan renungan yang dalam, juga tentang pelajaran besar dalam
hal-hal yang kecil. Yang paling membuat saya iri adalah bagaimana ia
mendapatkan itu semua dari perjalanannya ke berbagai penjuru negeri.
Kepingan-kepingan keindahan hidup itu ia dapatkan dari desa yang sepi di
Perancis, dari sebuah bukit di Kazakhstan, dari perjalanan pesawat ke Chicago,
atau bahkan dari bar kosong di Tokyo. Dari Coelho saya mendapat banyak
kebijaksanaan. Dari Coelho pula saya mendapat satu impian baru: keliling dunia.
Tapi bukan dia, penulis yang beristri seorang seniman itu,
yang akan saya bahas banyak di sini. Ia hanya sebagai pengantar saja. Tanah di
mana ia lahirlah yang menarik di sini. Brazil.
****
Di luar ruang sidang, terlihat seorang panitia sibuk menyiapkan
makanan ringan dan minuman. Saya masuk ke dalam. Di ruangan berbentuk persegi
panjang itu, PSQH (Pusat Studi al-Qur’an dan Hadis) sedang melangsungkan acara.
Di sana sudah duduk seorang pembicara. Beliau didampingi seorang dosen dan satu
moderator di sampingnya. Tiga orang berbicara di depan, 20 peserta yang duduk
melingkar di depannya hanya mendengar. Sekilas, sang pembicara nampak seperti
orang Indonesia: berpeci putih bundar, berbaju batik dan berkulit putih khas
Asia. Terkadang beliau berbicara dengan bahasa Inggris, kadang bahasa
Indonesia, kadang pula terceplos kata-kata bahasa Jawa.
Namanya Soedirman Moentari, ahli biologi, genetika dan
peternakan. Beliau seorang Suriname, beragama Islam dan keturunan asli Indonesia.
Ya, mendengar Suriname rasanya begitu dekat dengan kehidupan
Coelho tadi. Barangkali karena negara ini berada di Amerika Selatan, tepatnya di
sebelah utara Brazil.
Secara personal saya tidak kenal dengan Pak Moentari, bahkan
baru mendengar namanya saat ia memperkenalkan diri. Tapi saya merasa ada kedekatan
khusus dengan beliau, mungkin karena pada dasarnya kami berasal dari tempat
yang sama: Kediri. “Saya asli dari Suriname dan kakek saya dari Kediri.” tulis
beliau, dalam perkenalannya.
Pak Moentari adalah satu lagi contoh nyata, bahwa
bibit-bibit yang dihasilkan dari kota yang telah membesarkan saya, bisa unggul
di manapun ia ditanam dan tumbuh. Mungkin jika ada kesempatan, bisa sedikit
saya ceritakan kepada beliau, bahwa ada Bu Tri Rismaharini yang sukses memimpin
Surabaya dan beberapa kali masuk di daftar walikota terbaik dunia. Ada pula
Jenderal Moeldoko yang kini menjabat panglima dan memimpin Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Mereka adalah bibit-bibit berkualitas yang diekspor dari kota
kami, Kediri.
Begitu juga dengan Pak Moentari. Banyak hal mengesankan dari
pertemuan singkat dengan beliau kemarin, yang pada akhirnya membuat saya kagum.
Bagaimana tidak, berbicara tentang jumlah bahasa yang beliau kuasai saja hampir
tidak bisa saya hafalkan. “Karena komunitas di Suriname terdiri dari berbagai
bangsa maka saya bisa memakai bahasa Jawa (Ngoko dan Krama), Belanda, Inggris,
Jerman, Spanyol, Taki-taki (Suriname), Hindustani (India), Bahasa Indonesia dan
Bahasa Arab.” tulis beliau. Kadang saya berpikir, Indonesia yang sama terdiri
dari multi-bahasa saja saya masih kesulitan menguasai sebagian kecilnya. Saya masih
payah berbahasa Sunda, sudah lupa kosakata bahasa Aceh yang pernah saya hafal, juga
selalu tidak sempat belajar bahasa Bima. Padahal sudah sekitar tiga tahun saya
tinggal di Jogja, kota yang dijuluki “Mini Indonesia” karena keragamannya ini.
Benar, jika beliau adalah alumnus peternakan di University
of Wageningen dan biologi di University of Leiden. Tapi, salah jika kita
beranggapan bahwa beliau hanya berkutat pada keilmuan tersebut saja. Pak
Moentari termasuk dalam daftar orang gigih yang pernah saya jumpai. Beliau
adalah pejuang Islam (umumnya) dan al-Qur’an (khususnya) di Suriname. Beliau
bercerita bahwa di negaranya sangat sulit menemukan Kiai (guru mengaji),
kalaupun ada, orang yang berniat ingin mengaji seringkali harus menempuh jarak
jauh untuk sampai ke tempat sang guru. “Beda dengan di Indonesia yang guru
ngajinya teng telecek (ada di mana-mana).” ujarnya, terkekeh.
Saya katakan pejuang Islam, karena sejak tahun 1985 sampai
1993 beliau aktif di Stichting der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIGS). SIGS
adalah organisasi Islam terbesar di Suriname. Lima tahun terakhir di sana
beliau menjabat sebagai ketua. Lalu pada tahun 1993 sampai 1999 beliau banyak
melakukan dakwah Islam di Belanda, dan menjadi Imam serta ketua organisasi
Islam di sana. Di samping menjadi pendakwah dan aktif dalam organisasi Islam,
Pak Moentari juga seorang dosen biologi di kelas. Meski saat ini beliau sudah
pensiun dari pekerjaannya.
Saya katakan pejuang al-Qur’an, karena beliau juga mengajar
al-Qur’an di sana. Satu yang ingin saya komentari ketika mendengar beliau
melantunkan ayat suci al-Qur’an adalah, bacaan tajwidnya sungguh bagus. Meski
beliau menyadari di Suriname belum ada acara-acara semacam Musabaqah Tilawatil
Qur’an seperti di Indonesia, karena di sana membaca al-Qur’an dengan benar saja
sudah dianggap cukup baik. Namun beliau juga menyayangkan bagaimana guru-guru
mengaji di Indonesia tidak menggunakan tajwidnya dengan benar ketika mengimami
shalat, meskipun sang guru ngaji bisa mengajarkannya pada murid-muridnya.
Tentunya ini tidak bisa digeneralisasi. Barangkali para guru ngaji “khusus”
inilah yang sering disebut Emha Ainun Nadjib sebagai Kiai Jarkoni: iso
ngujar ra iso ngelakoni (bisa mengucapkan tak bisa mempraktikkan).
Seorang dari peserta bertanya, “Apakah ada metode semacam
Iqra’ untuk tahap awal belajar al-Qur’an di sana, sebagaimana di Indonesia?”
Pak Moentari menjelaskan, bahwa di Suriname maupun Belanda, banyak orang yang
mengaku Muslim dan tetap ingin menjadi Muslim. Mereka ingin belajar shalat,
membaca al-Qur’an, tapi keinginan mereka muncul ketika mereka sudah tua,
sehingga mereka tak punya waktu banyak untuk belajar membaca al-Qur’an, yang
nantinya bisa digunakan untuk praktik-praktik ibadah dan sosial-keagamaan,
seperti shalat, tahlilan, mengurus jenazah, acara syukuran, pernikahan, dan
lain-lain.
Dari sini Pak Moentari menawarkan cara kreatif sebagai
metode belajarnya. Beliau menggunakan digitalisasi al-Qur’an untuk mengajari
murid-muridnya. Sebuah metode yang terdengar sederhana, namun sangat mengena dan
juga relevan dengan konteks keislaman di Suriname dan Belanda. Berhubung relasi
guru dan murid di sana sangat terbatas (ruang dan waktu), digitalisasi al-Qur’an
merupakan alternatif efektif untuk belajar al-Qur’an ketika waktu harus
memisahkan antara sang guru dan murid. Digitalisasi tersebut mencakup ayat-ayat
al-Qur’an yang terpapar di layar komputer yang dilengkapi dengan suara dari
para qari, panduan tajwid, juga tentang bagaimana cara menulis huruf hijaiyah
(Arab) memakai papan ketik. Selain melalui digitalisasi, Pak Moentari juga
membuat boklet semacam buku kecil, untuk lebih mempermudah proses belajar. Dari
situ, sang murid akan dengan mudah menghafal dengan mengulang-ulang dan
mempelajari macam-macam huruf hijaiyah beserta penulisannya dalam al-Qur’an. “6
kali pertemuan murid-murid sudah bisa membaca al-Qur’an dengan mad dan
sukun, dan 12 kali pertemuan mereka sudah bisa tajwid dan menulis Arab al-Qur’an.”
ucap beliau, memberi bukti.
Banyak pelajaran yang saya dapat dari kegigihan beliau dan
perjuangan beliau. Pak Moentari mengajarkan bagaimana kita tak harus terpaku
pada satu bidang saja. Kita bebas mengeksplorasi bidang-bidang lain, baik
bahasa hingga pengetahuan, asal kelak hal tersebut dapat mendatangkan manfaat
bagi banyak orang. Sama halnya dengan Paulo Coelho, saya menaruh iri pada Pak
Moentari atas kegigihannya mencapai sesuatu, meski itu artinya harus dilakukan dengan
otodidak.
Ya, dua inspirasi pun datang dengan tak sengaja dari Amerika
Selatan, belakangan ini.
Yogyakarta, 3/4/2015
Yogyakarta, 3/4/2015