Kemanusiaan dan Sebuah Batas



Kazuo Shimogaki akhirnya melabuhkan perhatiannya pada Mesir. Pemerhati Timur Tengah asal Jepang itu tertarik dengan pemikiran si penulis Essai sur la methode d’Exegese (“Esai tentang Metode Penafsiran”), yaitu Hassan Hanafi. Ketertarikan Shimogaki pun lantas ia abadikan menjadi sebuah karya; sebuah tesis berjudul Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading. Saya menjumpai tulisan Shimogaki ini dari terjemahan Indonesianya dengan judul yang lebih ringkas: Kiri Islam.

Satu bagian dari tulisan apresiatif-kritis Shimogaki terhadap pemikiran Hanafi ini, juga yang menarik perhatian saya, ialah tentang tantangan Barat dan respon dari Islam. Pada bagian tersebut, Hassan Hanafi menyinggung masalah ‘Imperialisme Kultural’ yang menurutnya sangat berbahaya bagi dunia Islam. Sang reformis penerus Jamaluddin Al-Afghani itu menjelaskan, bahwa dengan adanya ‘Imperialisme Kultural’ sama artinya dengan membelenggu kreativitas kaum muslim, negara-negara Islam dibuat lemah secara kultural, sehingga Barat mudah mendominasi.

Barangkali Erosentrisme adalah produk nyatannya. Ya, Erosentrisme dalam bidang apapun: pengetahuan, gaya hidup, cara berpikir, dan segala hal yang berhaluan budaya Barat lainnya. Jika di Indonesia ditemukan para siswa SMA yang mengadakan pesta bikini atau bahkan pesta seks setelah Ujian Nasional selesai, itulah Erosentrisme, karena budaya Timur tidak pernah mengajarkan cara seperti itu. Lebih luas lagi, itulah contoh kecil dari ‘Imperialisme Kultural’ yang telah terjadi.

Tapi bukankah Hassan Hanafi yang ‘keras’ pada budaya Barat itu juga produk dari Barat? Essai sur la methode d’Exegese yang menjadi karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961, ialah disertasinya setebal 900 halaman yang ia selesaikan di Universitas Sorbonne, Perancis. Mungkin karena inilah Shimogaki mengategorikan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal, sebagaimana Luthfi as-Sayyid, Taha Husain, dan Al-Aqqad. Tapi mungkin  juga ia adalah seorang Al-Ghazali yang lain di abad ke-20, sebagaimana sang imam yang sufistik itu pernah menolak dan mengkritik para filosof dengan memakai salah satu ‘senjata’ musuhnya sendiri, yaitu logika.

Berangkat dari pandangan Hanafi terhadap Barat, Shimogaki menjelaskan bahwa pergesekan antara dunia Barat dan Islam telah ada sejak sebelum terjadinya Perang Salib. Pergesekan ini pula yang membuat Hanafi memunculkan Oksidentalisme (wacana Kebaratan), sebagai tandingan dari Orientalisme (wacana Ketimuran). Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah gesekan-gesekan Barat dan Timur (Islam) tersebut masih relevan untuk konteks sekarang? Apakah garis demarkasi yang memisahkan keduanya masih jelas dalam pandangan masyarakat dunia saat ini?

Saya pernah membaca buku Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi; sebuah tulisan naratif dari dosen saya, juga sebuah buku yang menjadi ‘pegangan’ para mahasiswanya di kelas beliau. Saya juga mengikuti acara bedah bukunya. Dan dari buku sekitar 250-an halaman itu, saya mendapat sebuah kesimpulan, sekaligus jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.

Jawabnya adalah: bahwa dunia saat ini telah melebur. Sekat-sekat pemisah antara Barat dan Timur sudah sangat kabur. Keduanya telah bercampur padu. Barat sudah menjadi bagian dari Timur, begitu pula sebaliknya. Produk Barat bertebaran di Timur, dan produk Timur telah menjamur di Barat. Para peneliti dan akademisi Barat telah banyak yang bergandeng tangan bersama para peneliti dan akademisi Timur, untuk sama-sama bergerak dengan mengatasnamakan ilmu pengetahuan. Para mahasiswa Timur banyak yang belajar ke Barat, begitu pula sebaliknya, kita tidak usah kaget jika suatu saat nanti pertunjukan wayang dan gamelan dimainkan oleh para bule.

Dosen saya yang orang Timur, juga pernah menjadi bagian dari Barat. Belajar langsung pada orientalis Issa J. Boullata, seorang Kristiani yang juga ahli Tafsir dan retorika Arab. Atau lihat saja antropolog Mark Woodward yang begitu intens melakukan penelitian di Jawa. Pertama kali saya bertemu dengannya ialah ketika ia datang ke pesantren saya. Ia adalah satu-satunya orang Amerika yang duduk di tengah-tengah para jama’ah pengajian warga Kotagede yang sedang berlangsung saat itu. Bagi saya Woodward sudah menjadi bagian dari Timur, khususnya Indonesia. Penelitannya tentang Islam di Jawa (terutama sufisme dan mistisme Jawa), telah memaksanya untuk banyak bergumul dengan masyarakat Muslim Jawa, bahkan dengan karya-karya klasiknya, seperti babad dan serat Jawa.

Kita bisa lihat, semuanya begitu melebur. Tidak ada konfrontasi dikotomik sebagaimana yang digambarkan oleh Hassan Hanafi. Tidak ada subjek superior dan objek inferior sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kolonial. Tidak ada penguasa dan yang dikuasai. Setidaknya begitulah menurut dosen saya, penulis buku sekaligus pengajar matakuliah Tafsir Orientalis.

Saya kira ada benarnya, meski pendapat itu tak wajib kita amini bersama. Ada kelompok orang yang tetap pada pendiriannya dalam membuat sekat-sekat antara Barat dan Timur, ada pula kelompok orang yang sudah sama sekali apatis dengan hal itu. Keduanya sangat mungkin terjadi, mengingat horizon pengetahuan (termasuk dari buku yang dibaca, acara teve yang ditonton, atau stigma publik yang memengaruhi) serta pengalaman empiris masing-masing orang yang berbeda.

Kelompok “penyekat” biasanya terdiri dari para korban kolonolialisme, atau bisa juga dari orang-orang yang terdoktrin oleh buku-buku “subjektif” yang sejak awal mereka baca secara berurutan. Di sisi lain, kelompok “apatis” bisa jadi muncul dari orang-orang yang terbiasa hidup dalam masyarakat plural, atau bisa juga terdiri dari orang-orang tertekan yang sudah tak peduli apa itu Barat dan Timur.

Yang terakhir ini menarik, jika kita paham apa yang sedang terjadi di negara-negara Timur Tengah saat ini. Hidup dalam negeri yang dirundung konflik atau negara yang tak mampu menyejahterakan warganya, membuat para masyarakat Timur Tengah dan sekitarnya tidak lagi memandang apa itu Barat dan Timur, melainkan apa itu tanah yang “layak huni” dan “tak layak huni”. Desingan peluru dan penderitaan akibat kelaparan yang mereka alami, membuat mereka nekat dan memutuskan untuk menjadi “Manusia Perahu”.

CNN mengabarkan, ada lebih dari 20 negara yang penduduknya melakukan imigrasi besar-besaran ke negara-negara di Eropa. Dan “Manusia Perahu” adalah sebutan lain bagi para imigran gelap (illegal immigrant) yang mendambakan tanah layak huni tersebut. Barangkali bagi mereka kata “Barat” tidaklah penting, karena hidup merekalah yang lebih penting. Atau barangkali mereka tak sempat memikirkan itu. Karena yang lebih penting dipikirkan adalah bagaimana bertahan hidup di atas perahu kecil untuk mencapai Eropa, dengan ditambah ombang-ambing ombak dan stok makanan yang terbatas.

Data UNHCR menyebutkan, bahwa pada tahun 2014 lalu ada sekitar 219.000 imigran gelap menyeberangi Laut Mediterania untuk menuju Eropa. Dan sedikitnya 3.500 imigran mati sebelum mereka berhasil mencapai sana. Kita bisa lihat, bahwa ini bukan perkara Barat dan Timur lagi. Bagi mereka, ini juga bukan lagi perkara imigran dan imigrasi. Ini adalah masalah kemanusiaan. Dan saya tak heran, jika di Malaga (Spanyol) para demonstran mencoret kata “inmigrantes” menjadi kata “personas”. Lalu mereka membentangkan spanduk yang bertuliskan: “No mas muertes en el Mediterraneo”. Sebuah kalimat yang bukan lagi tentang Barat dan Timur, melainkan kalimat kemanusiaan yang berarti:

“Jangan ada nyawa melayang di Mediterania”.


Yogyakarta, 10/5/2015

1 komentar

  1. Meskipun mungkin tidak tepat, tapi bertolak dari artikel yang anda tulis ini saya juga dapat menyetujui bahwa Hassan Hanafi memiliki kesamaan dengan Al Ghazali dalam caranya menyampaikan kritik.

    BalasHapus

My Instagram