Disleksia dan Kelainan Kita yang Lain
Oktober 12, 2015
Reading
Add Comment
Ishaan tak bisa membaca dan sulit menulis. Tiap kali ia mencoba mengeja sebuah tulisan, tiba-tiba bukunya mendadak menjadi arena tarian oleh huruf-huruf di dalamnya. Ia tak bisa membedakan antara “b” dan “d”, menulis huruf “h” dan “t” secara terbalik, merubah tulisan “top” menjadi “pot”, serta banyak kesalahan-kesalahan yang lain. Persis seperti masa kecil Pablo Picasso dulu, yang selalu melihat angka “7” dalam posisi terbalik, hingga ia menganggap itu lebih mirip hidung pamannya yang besar daripada melihatnya sebagai sebuah angka.
Begitulah disleksia (dyslexia). Sebuah disfungsi yang
umum terjadi pada anak ketika menginjak usia tujuh hingga delapan tahun, yang
disebabkan oleh reaksi biokimia otak yang tidak stabil. Penderita disleksia
bisa saja anak-anak normal atau bahkan di atas rata-rata, hanya saja
perkembangan membaca dan menulis mereka terganggu.
Sebenarnya Ishaan hanyalah tokoh fiktif dalam film Taare
Zameen Par (2007). Film garapan sutradara yang sekaligus ambil peran di
dalamnya: Aamir Khan, yang akhirnya saya masukkan dalam kategori film
(berwajah) India yang recomended untuk ditonton, selain Three Idiot,
Slumdog Millonaire dan Life of Pi. Saya sendiri sebenarnya tak
terlalu tertarik dengan film-film buatan India, dan suka melewati adegan menyanyi
dan menari yang menjemukan. Tapi film ini agaknya lain, meski tetap saya lewati
juga adegan-adegan tersebut.
Lantas bodohkah Ishaan? Salahkah dia? Setidaknya ia tidak
hidup di Jerman pada tahun 1933-1945, ketika Nazi masih menjadi mesin pembunuh
yang paling ditakuti di Eropa. Atau mau tidak mau ia akan menjadi korban
“penyapuan” Hitler, sebagaimana pemimpin berkumis Chaplin itu menghabisi
orang-orang cacat lainnya. Dan itu akan tampak konyol, karena pada dasarnya
disleksia bukanlah sebuah kebodohan maupun cacat permanen.
Ishaan adalah sebentuk simbol. Bahwa mereka yang memiliki
keterbatasan di satu sisi, selalu punya kelebihan di sisi lain. Juga sebuah
pertanda bagi dunia, bahwa dari orang-orang yang berkelainan itulah sudut
pandang yang lain pula terlahir. Taare Zameen Par memaparkan
contoh-contoh tokoh yang begitu memotivasi penontonnya. Selain Picasso, ada
Leonardo da Vinci, Thomas Alfa Edison, Walt Disney, serta tokoh-tokoh lain.
Bahkan Tom Cruise yang mungkin kita lihat tampak sempurna, sebenarnya ia merupakan
orang yang “lain” juga. Mereka semua penderita disleksia, atau saya lebih suka
menyebutnya “disleksia positif”.
Terdengar paradoksal memang, jika disleksia adalah barang
negatif yang cenderung ingin dihindari namun ada imbuhan positif di belakangnya.
Tapi maksudnya adalah, mereka yang sudah terlanjur terjangkit disfungsi
tersebut dan mustahil untuk menghindar, setidaknya mereka mengalihkan
perhatiannya pada pengembangan potensi mereka daripada membuang waktu meratapi
kelainannya sendiri. Katakanlah Walt Disney; bermasalah dengan huruf, ia
mengisi hidupnya dengan kartun. Sebuah dunia kecil di atas kertas yang kini
sudah merambah ke dua dunia sebenarnya: dunia hiburan dan komersial. Disney pun
menciptakan sejarah dengan caranya sendiri.
****
Beberapa minggu lalu, satu hari tepat setelah saya tuntaskan
menonton Taare Zameen Par, saya berkunjung ke Jogja National Museum
untuk menonton sebuah pameran. Atas ajakan seorang kawan yang langsung saya
iyakan, saya pun tak paham ada pameran apa dan oleh siapa. Setiba di sana, di lokasi
museum yang berseberangan dengan bekas Sanggar Bumi Tarung (sanggar seni rupa di bawah naungan Lekra) itu, saya
disambut dengan tulisan besar yang membentang. “Disleksia”, begitu ia
tertulis. Ternyata itu merupakan tajuk yang diberikan oleh para mahasiswa
Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja yang sedang menyelenggarakan pameran satu
angkatan di sana.
Begitulah seringkali terjadi. Ada letupan-letupan kebetulan,
yang menurut budayawan Emha adalah sebuah kebenaran yang memang harus terjadi;
bahwa Tuhan semacam telah merancangnya sedemikian rupa, hingga saya lebih
sering merasakannya sebagai cara Tuhan “memperkuat kesan” pada hamba-Nya. Kali
ini, kesan itu bernama disleksia, yang akhirnya kekuatan dari kesan itulah yang
melandasi saya tergerak untuk menulis esai pendek ini.
Kembali pada disleksia dan kelainan kita yang lain; bahwa
kepekaan pada pertanda inilah yang juga menjadi kelainan saya yang (mungkin)
membedakan dengan orang lain. Itu hanyalah salah satu contoh. Ada puluhan
kelainan saya, baik positif maupun negatif, yang tak mungkin saya ungkapkan
semuanya di sini. Begitu pula dengan anda, mereka dan masing-masing individu
yang merasa mempunyai kelainan yang membedakannya dengan orang lain.
Ketika masuk ke dalam ruang pameran, saya merasakan atmosfer
yang berbeda: atmosfer orang-orang seni. Sama sekali berbeda dengan atmosfer di
mana saya tinggal, saya melihat kelainan di sana. Bau cat, dan bau-bau aneh
lain, kaos oblong (maksudnya benar-benar oblong), rambut gondrong, gelagat
asing, bahasa dialog yang english mix, adalah sesuatu yang saling membentuk
kata “lain” tersebut. Sebenarnya kelainan itu bisa dibilang sebagai sebuah
sudut pandang. Sebuah kelainan, menjadi tidak lain lagi jika kita menjadi
bagian di dalamnya.
Kelainan seperti itu bukanlah salah, bukan juga menjadi
masalah. Justru kelainan pada diri setiap manusia atau (lebih luas lagi)
kelompok, merupakan sebuah dasar yang membentuk identitas. Kita baru bisa
dikatakan memiliki identitas jika ada hal yang membedakan diri kita dengan yang
lain. Seorang saudara kembar yang seidentik mungkin, tetap bisa dibedakan
melalui tanda-tanda pada diri mereka, entah itu nama, sifat, atau kebiasan yang
terlihat sepele sekalipun. Malaysia tidak akan disebut sebagai “Malaysia” jika
tidak ada yang membedakannya dengan negara lain, dalam banyak elemen tentunya.
Meskipun negara Siti Nurhaliza itu mampu “memindai” segala kebudayaan yang
Indonesia miliki, ia tak akan cukup mampu untuk merubah eksistensinya menjadi
negara Indonesia. Karena memang banyaknya elemen yang masih tetap bisa
dibedakan dari negeri kita ini, seperti (katakanlah) jumlah pulau misal.
Seno Gumira Ajidarma, dalam bukunya Kentut Kosmopolitan,
beberapa kali menyinggung perkara ini. Perkara kebutuhan kita yang mesti memiliki
“pembeda” jika ingin disebut beridentitas. Terkait hal ini, ada beberapa
masalah identitas yang sering kita temui sehari-hari. Salah satunya adalah tentang
budaya relasi anak dan orang tua, lebih tepatnya tentang pemaksaan identitas.
Keinginan orang tua yang didorong oleh arus budaya global
maupun lingkungannya, seringkali mengorbankan mimpi-mimpi seorang anak,
membendung potensi dan cukup mematahkan semangat. Sudah jamak kita temui,
adanya orang tua yang menginginkan anaknya menjadi ini dan itu tanpa mengompromikannya
terlebih dahulu pada yang bersangkutan. “Sukses adalah ketika kau menjadi
pegawai negeri, nak!” kata mereka. Atau,
“Sukes adalah ketika kau berhasil masuk industri ini, nak!”. Beberapa orang tua
menganggap barometer kesuksesan adalah materi atau pangkat, bukan rasa nyaman
dan kebahagiaan. Kita tak pernah tahu, Ishaan yang lebih mirip Picasso itu
sangat menderita ketika orang tuanya menginginkan ia bekerja di kantoran,
lantas memaksanya dengan segala macam tuntutan di luar potensi aslinya.
Sekali lagi, tidak semua orang tua memang, tapi tetap saja
ini masih umum di masyarakat kita. Tak semua orang tua tahu kata-kata filosofis
Kahlil Gibran yang selalu mendukung kebebasan ekspresi anak itu: “Anakmu
bukanlah anak-anakmu.” Seorang anak mempunyai kelainannya masing-masing, yang
lantas menjadi pembeda dengan anak lainnya, dan lebih lanjut, itulah yang
menjadi identitas mereka. Maka sangat disayangkan, ketika para orang tua tak
ingin anaknya menjadi berbeda. Mungkin perbedaan telah mereka anggap sebagai
bentuk ketidakwajaran.
Saya sendiri termasuk anak yang beruntung, sejak awal tak
pernah dibentuk menjadi identitas yang diinginkan orang lain. Sejak kecil saya
selalu bebas mengekspresikan “kelainan” saya. Pernah suatu waktu saya
bercita-cita untuk menjadi penjaga perlintasan kereta api, bukan menjadi guru
ataupun dokter. Ya, karena waktu itu saya begitu menyukai kereta api, sehingga
saya berpikir bahwa dengan menjaga palang pintu perlintasan, saya bisa melihat
kereta api lewat setiap hari. Meski keinginan itu tidak abadi, dan selalu
berubah setiap masanya, tapi itulah identitas saya ketika kecil. Identitas yang
tidak sama dengan kelainan anak-anak lain.
Kita yang tak bisa membaca sebanyak orang lain, tak bisa
menulis sebagus orang lain, tak bisa menghafal secerdas orang lain, tak bisa
menyanyi seindah suara orang lain, bukanlah sebuah masalah bagi kita. Karena
kita bukan orang lain, dan sangat tidak menutup kemungkinan bahwa kita juga
memiliki kelainan yang tidak dimiliki orang lain. Mungkin orang lain tak mampu
menggambar sekreatif kita, mungkin orang lain tak mampu berdiplomasi selancar
kita, mungkin orang lain tak mampu seromantis perlakuan kita, karena orang lain
itu juga bukan kita. Itulah yang dinamakan identitas tadi.
Kelainan kita bukanlah air bah yang akan menenggelamkan kita
pada arus mainstream yang dibangun lingkungan kita, dan juga bukan aib
yang harus ditutup-tutupi selama itu hal yang positif. Kelainan kita hanya
perlu dikampanyekan, dan dimodifikasi agar arus mainstrem yang telah
terbentuk itu menyambutnya dengan hangat. Dari sana, kita hanya memerlukan satu
syarat saja: “suka”. Bukankah pekerjaan yang paling menyenangkan adalah bekerja
sesuai hobi (kesukaan) kita?
Saya ingat kalimat bijak yang pernah diucapkan oleh dosen
saya yang paling humoris, sehingga kalimat bijak ini terasa sangat mahal ketika
keluar dari lisannya, “Jadilah diri sendiri. Karena ketika kita mengikuti orang
lain, sejatinya kita telah tertinggal darinya. Ketika kita maju selangkah, maka
ia juga selangkah maju di depan kita.”
Yogyakarta, 10/10/2015
Yogyakarta, 10/10/2015
0 komentar:
Posting Komentar