Dekker
Februari 09, 2016
Reading
Add Comment
Suatu siang di pertengahan 1897, seorang kuli perkebunan berjalan menghampiri mantan pengawas perkebunannya. Si kuli yang asli pribumi sudah terlihat uzur dan tampak lusuh, sementara atasannya yang baru saja memutuskan resign adalah seorang Indo berumur 18 tahun. “Terpujilah ibu yang melahirkan Anda,” kata si kuli, takzim. Pemuda di hadapannya itu langsung memasang ekspresi linglung. Dia sama sekali tak mengenalnya, apalagi dekat dengan buruh tua tersebut. Belum selesai dibuat bingung, si pak tua kembali menumpahkan uneg-uneg-nya, “Anda tuan muda, telah memperlakukan kami layaknya manusia.”
Percakapan di
atas menjadi rekaman sejarah tersendiri bagi Kota Malang, tepatnya di
perkebunan kopi Soember Doeren, di kaki Gunung Semeru. Kebun kopi itu kini
telah tiada. Tenggelam sudah kisah kejayaan perkebunan milik Handelsvereniging
Amsterdam itu, seiring dengan tenggelamnya kisah eksploitasi para buruh yang
pernah mengabdi di sana. Gambaran sejarah kelam kemanusiaan tersebut, kini hanya
bisa kita lihat dalam The Lion and the Gadfly: Dutch Colonialsm and the
Spirit of E.F.E Douwes Dekker, buku karya Paul W. van der Veur.
Pantas memang,
jika si pemuda 18 tahun dibuat bingung. Sebab bagi sang buruh, perlakuan sang
atasan telah mengangkat kembali harkatnya sebagai manusia. Sedang bagi si
pemuda, menolak dan melawan segala bentuk ekspoitasi manusia adalah hal yang
wajar: jiwanya sudah tergerak sejak awal untuk melakukannya. Meski pada
akhirnya ia harus menerima resiko. Si pemuda Indo yang masih bekerja selama
setahun itu harus keluar dari tempat kerjanya, sebab tak sepaham dengan para
atasannya yang tak manusiawi.
Demikianlah
sikap Douwes Dekker sedari muda. Pria Indo berdarah campuran Belanda, Perancis,
Jerman, dan Jawa itu selalu lantang dalam menentang kolonialisme. Ia bagaikan
duri dalam daging penjajahan Belanda yang berlangsung lama. Ia, Ernest Francois
Eugene Douwes Dekker, masih memiliki hubungan darah dengan sang pemberontak penulis
novel Max Havelaar (1860), Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Barangkali,
lewat novel yang juga dikagumi Hermann Hesse itu, Douwes Dekker kelak tergerak
untuk menulis novelnya sendiri: Simaan de Javaan (1908), tentang
ketidakadilan pemerintah Hindia-Belanda. “Ini novel satu-satunya yang
menampilkan orang Belanda sebagai orang jahat,” komentar Kees van Dijk,
peneliti KITLV di Leiden.
Pria Indo
kelahiran Pasuruan itu memang telah melampaui jamannya. Kecerdasan berpikir dan
kecadasannya dalam bertindak, telah membuat pemerintah kolonial kalang-kabut. Ia
pun dimasukkan dalam daftar hitam orang-orang yang dianggap berbahaya. Tahun
1912, Douwes Dekker mendirikan Indische Partij. Partai politik pertama di
Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Hindia. Partai ini disambut
gegap-gempita oleh masyarakat, sebab pergerakannya lebih radikal dan konkrit,
namun tetap inklusif, dibanding Boedi Oetomo yang lembek dan etnis-sentris pada
waktu itu.
Indische
Partij tak berlangsung lama. Setelah bertahan selama tujuh bulan, partai
beranggotakan 7.300-an orang itu akhirnya benar-benar dilarang oleh pemerintah.
Indische Partij mati. Tapi tidak dengan semangat pendirinya. Douwes Dekker mencari
cara lain untuk mencari keadilan bagi rakyat pribumi. Ia tak tahan melihat
penindasan berlarut-larut di depan matanya. Memakai nama pena “DD”, Douwes
Dekker malang melintang di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya pedas pada
penindas. Kritik-kritiknya pada pemerintah tak pernah pandang bulu. Beberapa
surat kabar seperti De Expres, Bataviaasch Niewsblad, Het
Tijdschirft, De Beweging, dan Nieuwe Arnhemsche Courant,
sudah biasa dihiasi artikel-artikel tajam DD. Ia pun sempat mendapat julukan
“spesial” dari pemerintah sebagai seorang oportunis: DD schoelje alias
DD si bangsat.
Memasuki ranah
pendidikan, Douwes Dekker mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung, tahun 1924.
Ia menjabat sebagai ketua yayasan. Sedangkan istri keduanya, Johanna
Petronella, bertugas sebagai sekertaris sekaligus bendahara. Demi melanjutkan
cita-cita Indische Partij, DD merancang sekolah menengah pertamanya tersebut
berbeda dengan sekolah Belanda yang lain. “Sebuah sekolah yang mempersiapkan
para kesatria bagi Indonesia merdeka,” kata P.F. Dahler, kawan politik DD. Ia
dan istrinya memang sejak awal menghendaki sekolah yang tak mau berkompromi
dengan Belanda. Sikap mereka bisa dilihat ketika banyak sekolah-sekolah ramai
merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina. “Tak perlu ada perayaan
apapun. Dia bukan ratu kita,” ujar Johanna lantang, ketika pidato di depan
murid-muridnya.
Dalam gerakan
akar rumput (grassroot), DD tak hentinya meniupkan semangat perlawanan
pada para petani dan buruh pabrik, baik secara langsung maupun tak langsung. Para
petani dan buruh mogok kerja. Mereka menuntut upah layak. Empat gulden tak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lagipula, upah itu sama sekali tak
layak dengan jam kerja mereka yang bisa mencapai 14-18 jam per hari. Selain di
perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten, DD juga turun langsung ke perkebunan
kopi Soember Doeren di Malang tadi.
Bekerja
sebagai opzichter atau pengawas perkebunan, DD menerapkan sistem
tersendiri yang sama sekali berbeda dengan cara para atasannya. Ia
memperlakukan para buruh di bawah pengawasannya dengan baik dan sepantasnya.
Masalah pun muncul. R.W. Jesse, atasannya, sering menegurnya agar tak terlalu
lembut pada pribumi. Tapi DD menolak. Ia memutuskan resign dari
tempatnya bekerja. Ketika sang mandor itu keluar, puluhan buruh mengantarnya
dengan berjalan kaki selama empat jam, sebelum akhirnya mereka kembali ke
perkebunan.
Sepak terjang
DD tak selalu mulus. Bahkan lebih sering menghadapi jalan terjal. Berkali-kali
ia dipenjara, diasingkan ke tempat pembuangan, hingga lolos dari hukuman mati. Sungguh
menyedihkan. Untuk apa Douwes Dekker melakukan hal “menyimpang” yang haram
dilakukan oleh para keturunan Belanda lain? Bukankah sebagai seorang Indo, ia
bisa memilih mendekat pada para penguasa, dan hidup dalam kemewahan, atau
setidaknya mendapat fasilitas yang lebih layak dari warga pribumi? Ia malah
menyeburkan diri pada dunia “kotor” orang pinggiran. Dunia yang bahkan
–meminjam istilah Bung Karno- lebih dari Vivere pericoloso alias nyerempet-nyerempet
bahaya; apa yang DD lakukan sudah jelas membahayakan hidupnya.
Tapi begitulah
Douwes Dekker. Ia lebih nyaman berada di sisi orang-orang “kalah”. Kalah dari
seleksi alam dan hukum rimba yang selalu ada di setiap jamannya. Kalah oleh
kekuasaan yang susah sekali berlaku adil bagi kaumnya. DD rela menjadi tameng
mereka. Barangkali, ia akan lebih sakit jika hanya diam, sedang hati nuraninya terus-menerus
tersiksa mendengar rintih kelelahan dan tangis penderitaan. Rasa cinta DD pada
Indonesia terlampau besar. Tak heran, jika orang sekelas Bung Karno banyak
berguru darinya:
“Aku bersyukur
bisa mereguk air nasionalisme dari Tjipto Mangoenkoesoemo, dari Ernest Douwes
Dekker. Aku bersyukur, dari merekalah aku mendapat pengajaran.”
Yogyakarta, 9/2/2016
Yogyakarta, 9/2/2016
0 komentar:
Posting Komentar