Agaknya saya benci
pengkotak-kotakan. Dalam hal ini, definisi “kotak” bisa sangat luas. Tapi
supaya lebih mudah, anggap saja apa yang saya sebut “kotak” adalah pikiran formalisitik
yang masih mengakar di masyarakat kita. Bisa pandangan sempit pada santri yang
dikira hanya (dan harus) bisa mengaji, atau sumpah serapah pada lelaki gondrong
yang sering kali dianggap korak, serta contoh-contoh apalah lainnya.
Jika penyimpulan dangkal
semacam ini benar adanya, maka buah durian tak akan semahal dan semewah sekarang.
Sebab jika manusia selalu melihat sesuatu secara visual dan mainstream,
maka mereka akan mengira bahwa isi durian tak layak makan, bahkan beracun,
sebagaimana bentuk kulitnya yang terlihat "mengancam".
Saya kira perlu untuk
membebaskan pikiran kita dari pendangkalan semacam ini. Ya, merdeka sejak dalam
pikiran adalah kebutuhan. Karena cepat atau lambat, kita akan tahu bahwa berbagai
kesimpulan yang ada dalam tempurung kepala kita, bisa sangat berbeda dengan
realita. Kita perlu jeli. Kita perlu belajar. Kita juga perlu memahami.
Saya sendiri sudah keluar
dari "kotak" itu sejak lama. Katakanlah sejak awal mengenyam dunia
pendidikan, saya sudah belajar menjadi “pemberontak”. Memberontak dari
orang-orang yang mengatur saya untuk belajar apa dan menjadi apa. Saya harus
sedikit adu mulut dengan bapak hanya karena saya ingin sekolah di sekolah agama
swasta, bukan sekolah umum negeri yang favorit. Atau saya harus terpaksa
memasang senyum kecut ketika seorang tetangga menawari untuk kuliah di sebuah sekolah
tinggi akuntansi, sebab saudaranya sudah jadi sukses (baca: kaya) setelah lulus
dari sana. Saya hanya heran, bagaimana bisa pikiran sepurba “belajar untuk
kaya” masih hidup di dunia ini?
Masuk dunia kampus yang
terkotak-kotak oleh jurusan dan fakultasnya, tak menyurutkan perjalanan
pemberontakan saya. Di awal tahun perkuliahan, ketika masih menjadi akademisi newbie,
saya sudah merasa bosan berkonsentrasi di bidang itu-itu saja. Perpustakaan
kampus yang menyediakan beribu-ribu buku itu, sudah saya eksplorasi sejak awal.
Saya bosan hanya berkutat di satu rak yang dikelilingi kawan-kawan sejurusan.
Rak yang pasti direkomendasikan para dosen jurusan ketika ada mahasiswa yang
bertanya masalah rujukan.
Dan benar, ada banyak buku
menarik di rak lain. Menjamah buku-buku sejarah, filsafat, sastra, memang membuat
saya terlihat seperti mahasiswa jurusan yang tak taat. Mungkin saja benar,
karena memang bukan konsentrasi saya di bidang tersebut. Tapi saya tak pernah
ambil soal. Demi tahu banyak hal, saya merasa perlu untuk melakukan itu. Dan
justru dari sanalah saya mendapat banyak kepuasan, juga hal-hal yang tak pernah
terduga. Saya sadar, bahwa dunia ini terlalu asik untuk tidak kita jelajahi
setiap lekuknya.
Bertandang ke rak sastra,
saya menemukan sebuah buku bersampul dan berjudul menarik. Buku berwarna putih,
dengan sampul bergambar botol air mineral bekas (seperti habis diremas), bertuliskan
“Jurnalisme Sastrawi”. Dari sanalah perkenalan pertama saya dengan salah satu
aliran jurnalisme itu. Meski terbilang terlambat, tapi setidaknya saya mendapat
kesempatan untuk tahu. Barangkali, ceritanya akan lain jika saya hanya duduk di
samping rak agama selama kuliah.
Saya baca kata pengantarnya,
“Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita”. Di akhir tulisan tertera nama penulis:
Andreas Harsono. Belakangan, saat berada di ujung semester penghabisan, saya
baru bisa menjumpai Mas Andreas secara langsung, tepatnya ketika menghadiri
acara diskusi dan peluncuran buku #narasi di Lembaga Indonesia Prancis
(LIP), Jogja. Mas Andreas merupakan salah satu kontributor tulisan di buku
tersebut, sekaligus pembicara dari perwakilan Yayasan Pantau (selain Nezar
Patria; pemred The Jakarta Post online).
Sore itu, sehabis acara, saya
dan beberapa kawan dari Gusdurian menghampirinya saat ia asik mengobrol dengan
teman-teman dari Timur. Kami memintanya untuk mengisi diskusi eksternal di
Griya Gusdurian Jogja. Ia mengiyakan, dan berucap, “Nanti saya akan bicara
tentang Gus Dur dan hubungannya dengan agama-agama saja ya. Itu salah satu
penelitian saya.” Lalu ganti saya yang mengiyakan. Dan malamnya, kami berhasil
“menculiknya”.
Mas Andreas adalah orang lama
di dunia kewartawanan Indonesia. Ia adalah salah satu wartawan yang bisa
dibilang cukup dekat dengan Gus Dur. Ia juga mendapat kesempatan meliput
detik-detik penurunan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Di tengah-tengah obrolan
kami tentang Gus Dur, Mas Andreas bercerita, bahwa ia adalah orang yang dekat
dengan Goenawan Mohamad, pemimpin Tempo dan esais yang menjadi guru
menulis pertama saya, tentunya lewat pembacaan ratusan judul esainya. Entahlah,
di situ saya merasa bahwa dunia ini memang terasa sempit.
Dari kata pengantar yang
ditulis Mas Andreas, saya berkenalan dengan Majalah Pantau, majalah
pertama di Indonesia yang memantau pergerakan media dan pers. Sebab itu pula,
saya telah selesai membaca esai-esai Linda Christanty dalam bukunya Dari
Jawa Menuju Atjeh: Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam dan Gay dan Seekor
Burung Kecil Biru di Naha: Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi (kelak ia menjadi
salah satu penulis favorit saya). Dari kata pengantar itu pula saya tahu, bahwa
buku Hiroshima karya John Hersey adalah buku terbaik abad ke-20 versi
Universitas New York (belakangan, saya mendapatkan buku ini versi Bahasa
Indonesianya). Hingga dari kata pengantar itu pula, saya kelak sempat
menerapkan gaya jurnalisme sastrawi di salah satu makalah penelitian saya.
Sebenarnya ini bukan tentang
kata pengantar itu. Ini adalah salah satu bentuk kepuasan saya karena bisa
membaca apa yang saya ingin baca. Belajar apa yang ingin saya pelajari. Meski
beberapa orang akan menyebut saya “menyimpang” dari pakem administratif sebagai
mahasiswa berlatar belakang jurusan keagamaan, bukan jurnalistik. Tapi
bagaimanapun juga, saya puas bisa tahu ini dan itu. Bukan hanya ini dan ini.
Dunia “sesat” saya di atas,
sebenarnya sudah saya sadari sejak dulu. Bahkan, berkaca dari kesesatan yang
saya alami, di kemudian hari saya pun membagi tipe mahasiswa menjadi dua. Pertama,
saya dan mazhab yang saya anut. Sebagaimana cerita saya di atas, golongan ini
masuk dalam tipe mahasiswa ensiklopedis. Tipe mahasiswa yang tahu banyak
hal, namun dangkal (kalaupun agak mendalam, ini butuh usaha lebih). Jika kita
tanya ini dan itu, kemungkinan besar orang-orang ini akan tahu. Namun mereka
tak akan bicara banyak soal ini. Kedua, di seberang jalan, ada
orang-orang yang saya anggap berkutat di dunia ke-monoton-an dan lurus. Mereka
adalah tipe mahasiswa profesional. Golongan ini hanya tahu hal itu-itu
saja, namun bisa sampai mendalam. Dan bila diajak berdiskusi tentang suatu
pembahasan yang ia kuasai, maka penjelasannya bisa sangat panjang.
Keduanya adalah pilihan. Dan
di setiap pilihan selalu ada konsekuensinya. Ada sisi positif dan negatif di
baliknya. Lantas, pada akhirnya hal ini pun kembali pada individu dan segala
kecenderungannya. Baik ia yang cenderung memberontak dan selalu penasaran pada
banyak hal, maupun pada ia yang cenderung tak ingin repot dengan banyak persoalan
dunia yang tak akan ada habisnya, sehingga memutuskan mengerucutkan pilihan pada
satu bidang saja. Setidaknya itulah klasifikasi ‘sekenanya’ yang bisa saya
tangkap. Mungkin akan lain jika kita mengikuti klasifikasi Antonio Gramsci,
filsuf post-marxisme asal Italia, yang juga pernah membahas tentang peran intelektual
ini. Atau pemikir lain seperti Julien Benda, seorang filsuf asal Perancis yang terkenal
dengan bukunya La Trahison des Clercs (Penghianatan Kaum Intelektual).
Tapi bukan klasifikasi mereka
yang akan saya sampaikan. Melainkan gagasan dan kritik seorang guru besar
sastra Universitas Colombia yang agaknya sejalan dengan apa yang saya pikirkan.
Dia adalah Edward Wadie Said. Seorang pemikir Amerika-Palestina yang namanya
cukup melambung sebab produktivitas karyanya yang tinggi, meski di sisi lain ia
juga seorang inteletual yang “terpinggirkan” di kalangannya, sebab ia terlalu
lantang membela Palestina dan mengkritik Amerika (tempat di mana ia tinggal)
dan para sekutunya.
****
Tahun 1993, untuk pertama
kalinya Edward Said mendapat kesempatan untuk mengisi “kuliah udara” dalam
program Reith Lectures di Radio BBC London. Sebelumnya, ia ditawari
kesempatan itu oleh Anne Winder dari BBC dengan perasaan kurang percaya. Hal
ini disebabkan karena BBC cukup mendapat tempat tersendiri di hati Said. Bisa
dibilang, masa-masa muda Said yang ia habiskan di dunia Arab, seringkali
mendengar kabar-kabar dunia dari London ini. Selain itu, Reith Lectures
yang cukup bergengsi itu tak dimiliki oleh radio pemerintah Amerika semacam
Voice of America maupun CNN. Said pertama kali mengenal Reith Lectures
pada tahun 1950, ketika ia aktif mengikuti kuliah Toynbee di radio tersebut.
Dari “kuliah udara” Said
inilah saya menemukan sedikit keserasian pemikiran kami. Dalam kuliahnya yang
bertajuk “Representation of Intellectual” itu, Said memposisikan di mana
seharusnya seorang intelektual berada. Juga bagaimana seharusnya peran yang ia
ambil. Menurut Said, intelektual haruslah independen. Gagasan dan kekritisannya
harus terjaga dan tak terikat oleh apapun. Ia pun mengutip Sartre, filsuf
eksistensialis Perancis, bahwa intelektual tak pernah lagi menjadi intelektual
ketika sudah dikelilingi, dibujuk, dikepung oleh masyarakat agar berubah
menjadi orang lain. Ya, sebagai intelektual harus siap termarginalkan karena
kritiknya terhadap kawan-kawannya. Seorang intelektual haruslah siap jika suatu
saat diinternir karena menentang otoritas pemerintahnya.
Berangkat dari sini, Said
kemudian mulai menyinggung masalah profesionalisme kaum intelektual. Sejalan
dengan apa yang saya katakan, Said juga menganggap, bahwa saat ini yang menjadi
pembenaran dalam masyarakat adalah intelektual haruslah profesional dan pakar
di bidangnya. Said menyangkalnya. Menurutnya, banyak kelemahan yang ada pada
profesionalisme. Seorang profesional biasanya bergerak berdasarkan kebutuhan.
Ada yang ia harapkan dari apa yang ia kerjakan. Maka dari itulah, kenapa Sartre
yang juga senapas dengan Said pernah menolak hadiah Nobel yang dianugerahkan
padanya. Intelektual bergerak bukan karena keuntungan atau imbalan tertentu,
melainkan karena cinta pada sesuatu yang tak pernah terpuaskan. Intelektual
lebih memperhatikan ide-ide serta nilai-nilai.
Said mengungkapkan, bahwa spesialisasi
menjadi tekanan tersendiri bagi seorang profesional. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, semakin sempit pula pembatasan bidang keilmuan yang ia
pelajari. Di sinilah kompetensi searah itu berjalan, tanpa ada seorang pun
yang bisa menghalangi. Artinya, semakin
tinggi pendidikan itu, maka semakin ia tak bisa menoleh ke bidang kiri dan
kanan. “Ketika ia mulai kehilangan pandangan tentang bidang orang lain
–katakanlah puisi cinta awal zaman Victoria- dan kultur umumnya dikorbankan
demi seperangkat otoritas dan ide resmi, maka kompetensi yang kini ia miliki
bukanlah harga yang pantas dibayar untuk itu,” kata Said.
Selain itu, seorang spesialis
cenderung tak mendengarkan (baca: skeptis) pada pendapat orang lain. Terutama
pada mereka yang tidak memiliki ijazah atau sertifikat di bidang tersebut.
Seorang spesialis seringkali enggan didikte. Ia merasa bahwa ia lebih menguasai
bidang tersebut dibanding orang lain. Saya kira inilah yang berbahaya. Merasa
dirinya sudah cukup pintar tanpa peduli terhadap hak berpendapat orang lain. Sangat
mungkin jika para spesialis ini tersesat, namun ia tak pernah merasa tersesat
karena ia merasa yakin dan selalu menutup telinga.
Noam Chomsky, seorang
pemikir Amerika, pernah diundang dalam sebuah acara oleh para pakar matematika. Pada
awalnya para pakar mendengar gagasan umum yang disampaikan oleh Chomsky. Namun
ketika Chomsky mulai menyinggung masalah kebijakan politik luar negeri dari
sudut pandang berbeda, para pakar tersebut seperti ingin mencegahnya. Mereka
menganggap bahwa Chomsky bukan pakar di bidang tersebut, sebab ia tak pernah
memiliki sertifikat keluaran universitas ternama. Padahal, bagi Said, Chomsky
yang sudah lama intens menekuni konsentrasi tersebut (meski tak bersertifikat) ia
bisa sangat luas dan lebih akurat ketika memaparkan Perang Vietnam, misal, jika
dibanding para pakar bersertifikat.
Saya kira inilah yang kita
lewatkan dari pandangan pada para profesional. Profesional, yang notabene
merupakan sekumpulan orang pintar di bidangnya, tak lantas disertai kebenaran
yang ada pada mereka. Kebenaran bisa saja muncul dari mana saja, bahkan dari
orang tak bersertifikat sekalipun. Contoh sederhana saja: para pakar politik di
negeri ini yang pada akhirnya tersandung kasus korupsi, merupakan contoh nyata
bahwa profesionalitas belum tentu disertai kebenaran padanya. Chomsky, yang
selalu berdiri paling depan dalam hal menentang perang dan invasi, selalu
mengkritik para pakar politik Amerika (tentunya yang bersertifikat) dalam hal
perebutan hegemoni dunia, melalui cara-cara yang tak dibenarkan.
Profesionalisme adalah
ancaman bagi Said. Meskipun ia seorang guru besar sastra yang juga bisa
dikatakan seorang profesional, tapi ia sudah melepaskan itu sejak lama. Said
bukan orang yang melulu peduli pada kisah Romeo dan Juliet belaka, melainkan
juga penindasan yang terjadi di Palestina dan negara-negara Timur. Sebagai
anti-tesis dari profesionalisme yang ia tentang, Said kemudian menawarkan apa
yang sebut dengan amatirisme. Yaitu sebuah aktivitas yang digerakkan oleh
kepedulian dan rasa, bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi
yang sempit.
Barangkali ada perbedaan
terkait klasifikasi saya tentang “profesional” dan “ensiklopedis” dengan
klasifikasi Edward Said tentang “profesionalisme” dan “amatirisme”. Meski
keduanya membidik satu subyek yang hampir sama: intelektual. Saya katakan
hampir, karena saya pikir peran intelektual mahasiswa dan para pakar cukup
berbeda. Mengutip klasifikasi Gramsci tentang intelektual “tradisionil” dan
“organik”: bahwa mahasiswa yang belum cukup memiliki peran dalam sebuah sistem
(pemerintahan) masuk dalam kategori intelektual tradisionil. Sebaliknya, para
pakar yang sangat mudah masuk dalam otoritas pemerintahan merupakan intelektual
organik.
Ini adalah sebuah wacana yang
tak perlu diamini bersama. Siapapun berhak menghendaki apapun. Saya sendiri
hanya menyampaikan apa-apa yang sempat saya baca, saya dengar dan pikirkan.
Mungkin panjabaran tentang pemikiran Edward Said di atas terlihat menjadi
semacam tulisan apologis saya untuk mengindar dari profesionalitas. Tapi saya
adalah orang yang meyakini, bahwa dunia ini selalu berjalan dengan dinamis.
Begitu pula dengan apa yang ada di dalamnya. Saya tak peduli kelak akan menjadi
seorang profesional atau ensiklopedis.
Saya hanya berharap, apa yang
saya pelajari saat ini dan apa yang saya lakukan kelak akan memberi banyak
manfaat bagi banyak orang. Kalaupun terpaksa ada yang dirugikan dari apa yang
saya kerjakan sebagai seorang intelektual kelak, anggap saja saya adalah seorang
intelektual sejati yang selalu siap menerima konsekuensi, sebagaimana
penggambaran Said di atas. Karena mau bagaimanapun juga, kita tak bisa
menghindar dari dialektika pemikiran yang selalu berkembang saat ini. Kita tak
bisa memposisikan diri sebagai seorang yang selalu “pro” pada semua pemikiran,
begitu pula kita juga tak bisa selalu “kontra” pada semua pemikiran.
Pada akhirnya, kita hanya
bisa menempatkan diri pada posisi dan peran yang kita anggap paling benar.
Lantas melakukan segala yang terbaik yang bisa kita lakukan. Dan, ya, bukankah
ini semua hanya tentang sebuah pilihan?
Yogyakarta, 8/3/2016