Buku: Antara Isi dan Harga Diri
November 20, 2014
Reading
1 Comment
Pernah menonton film Chef? Memang tiada hubungannya film ini dengan dunia buku. Sama sekali tidak. Tapi nampaknya film ini bisa mengantar kita dalam membicarakan sebuah cerita tentang buku. Cerita-cerita yang lebih mirip pengungkapan rahasia, terutama bagi saya yang belum terlalu banyak mengerti tentang ihwal buku dan dunianya.
Secara keseluruhan, saya kira film ini patut untuk ditonton. Dan tidak salah jika kemudian kita rekomendasikan pada kawan-kawan kita yang
mungkin sudah terbius oleh nikmatnya film-film horor Indonesia yang penuh
adegan sensual (baca: semi-seksual). Pendek kata: film ini bagus. Saya tak akan
mengupas isi film ini dari awal hingga akhir, atau mempertanyakan bagaimana Jon
Favreau bisa terinspirasi dan mau menggarapnya dengan apik. Apalagi menyanjung
peran aktris dan aktor kenamaan Hollywood semacam Robert
Downey Jr. dan Scarlett Johansson yang ikut ambil peran di dalamnya.
Sebenarnya saya hanya tertarik dengan latar awal film ini,
yaitu California. Entah bagaimana, ada semacam alur abstrak yang mendekatkan
saya dengan “dunia lain” tersebut belakangan ini. Berawal dari bulan lalu, di
mana sepucuk surat penghargaan didatangkan dari sana, tepatnya dari Kota San
Francisco, untuk saya. Baiklah, anggap saja memang sebuah kebetulan jika
Wikimedia Foundation, sebagai pengirim surat, memang didirikan di sana. Tapi
bukan itu saja, kedekatan itu muncul lagi setelah secara tidak sengaja saya
menemukan buku yang bercerita panjang lebar dengan latar yang (lagi-lagi) sama:
California.
Di sinilah kisah tentang buku itu dimulai.
Tapi pertama-tama saya akan katakan, bahwa membincangkan
buku itu perkara yang tiada habisnya. Banyak dimensi pembahasan yang bisa
dibicarakan bagi para pecinta maupun penentangnya (atau sebut saja penolak
kehadirannya). Saya jadi teringat ketika
seringkali saya berdebat dengan seorang kawan perihal efektivitas buku (cetak)
dan e-book (elektronik), dalam menantang kerasnya arus globalisasi yang
selalu menginginkan segalanya dilakukan dengan cara instan. Kita sama-sama
memilki argumen logis masing-masing dalam mengomparasikan kedua bacaan yang
beda penampilan itu. Itulah yang saya bilang dengan tiada habisnya.
Mungkin terlalu lemah, jika dalam perdebatan dengan seorang
kawan tadi saya hanya mengutip perkataan Russel Grandinetti, bahwa, “Buku cetak
adalah teknologi yang paling kompetitif: mudah dibawa, tidak gampang pecah,
memiliki resolusi tinggi, dan daya tahan baterai yang lama.” Karena itulah,
cerita (baca: tulisan) ini saya hadirkan.
Memang hidup di Jogja berbeda dengan California (katakanlah:
San Francisco), dalam segala hal dan ranah, dan juga tentunya dalam dunia buku.
Tapi untuk lingkup lebih sempit, meskipun bukan ibukota negara, Jogja selalu
berani diadu dengan kota mana pun jika hendak mengupas perihal perbukuan. Di
sini, percetakan menjamur, toko buku merajalela, perpustakaan di mana-mana,
bazar buku selalu terselenggara. Jika mau mengimajinasikan: Indonesia adalah
sebuah rumah besar, dan Jogja adalah salah satu kamarnya yang paling banyak
memiliki “jendela” untuk melihat “dunia”.
Tapi ini Indonesia, bukan Amerika Serikat. Saya baru sadar
bahwa bazar, festival, pameran buku, dan lain sebagainya, yang pernah
terselenggara di sini masih kalah jika dibandingkan dengan gemerlap dunia buku
Paman Sam. Buku yang saya temukan tadi telah menjawabnya. Sebuah karya
monumental dari Allison Hoover Bartlett yang berjudul The Man Who Loved Books
Too Much. Isinya menarik, bahkan (sejujurnya) sangat menarik. Ketika saya membacanya,
seolah buku itu membisikkan jawaban dan rahasia-rahasia yang selama ini masih
tersimpan rapat dalam ketidaktahuan diri saya. Buku itu telah menjawab, bahwa
buku cetak, sekalipun buruk rupa, tetaplah memilki nilai lebih bagi seseorang.
Bahwa buku cetak, juga memilki nilai sakral yang tidak dimiliki oleh e-book.
Bahwa buku cetak, juga telah melahirkan jutaan manusia penggila buku di dunia
ini. Bahwa buku cetak, tetap hidup abadi dengan misterinya yang mustahil semuanya
terpecahkan.
Kedekatan abstrak saya dengan California, tepatnya hadir
setelah saya membaca satu baris kalimat dalam buku ini: “California
International Antiquarian Book Fair 2003”. Namun dalam hal ini, terlepas dari
perdebatan buku dan e-book (anggap saja sudah selesai), maupun
jawaban-jawaban yang saya peroleh dari buku ini, saya lebih mengalihkan
perhatian terhadap hakikat dari sebuah buku.
Di San Francisco, California, di gudang besar yang mirip
gedung itu: Concourse Exhibition Center,
“California International Antiquarian Book Fair 2003” diselenggarakan. Ada
sekitar 250 agen buku dan 10.000 pengunjung yang ikut meramaikan acara akbar
ini. Ayolah, bukankah ini luar biasa? Jawabannya adalah “Ya”. Pameran ini
adalah pameran buku terbesar yang pernah diadakan di dunia. Kata “Antiquarian”
itu mengacu pada koleksi buku langka (antik). Saya rasa, dalam pameran ini
tiada buku baru yang dijual. Berbeda dengan pameran-pameran mainstream yang
pernah saya kunjungi, semua berbalik 150 derajat (hampir 180 derajat), yang
artinya: hampir semua agen kebanyakan menjual buku-buku baru.
Tahukah apa yang dijual dan berapa harga yang ditawarkan
untuk sebuah buku langka di sana? Jawabannya adalah “banyak". Di sebuah
fesival buku di Jogja, saya pernah mengamati harga-harga yang dipatok untuk
sebuah buku langka. Katakanlah, “Sarinah” karya Ir. Soekarno (kalau tak salah)
edisi pertama, yang (saat itu) berharga Rp. 200.000. Mungkin kita yang
mahasiswa harus berpuasa berhari-hari kemudian hanya untuk mendapat satu buku
ini, pikir saya pendek saat itu. Kalau dilihat dari fisiknya, “Sarinah” memang
tidak menarik, bahkan cenderung ada bagian yang terdistorsi secara fisik (mungkin
karena ulah waktu). Tapi mau bagaimana pun, edisi pertama nampaknya tetap
memilki daya tarik tersendiri.
Berawal dari perbandingan antara harga buku langka di
Festival Buku Indonesia dengan “California International Antiquarian Book Fair
2003”, saya menjadi mengerti apa itu definisi dari kata “fantastis”. Dugaan
saya bahwa “Sarinah” edisi pertama adalah buku mahal, ternyata salah. Pameran
buku California yang diselenggarakan sebelas tahun silam itu telah menjawabnya,
atau lebih luas lagi, bahwa perdagangan buku langka di dunia, Amerika Serikat
khususnya, telah memberi definisi kata “fantastis” bagi kita (tak luput saya
juga) yang sebelumnya awam ini.
Kita bisa dengan mudah mengakses cerita Pinokio dari
internet, atau mengunduh filmnya, lalu dengan santai menikmati kisahnya.
Semuanya gratis dan mungkin dilakukan. Tapi lain halnya dalam dunia buku
langka. Para kolektor buku langka harus mengeluarkan uang hingga mencapai $
80.000 (kurang lebih Rp. 685.600.000, dalam kurs dollar tahun 2003), hanya
untuk mendapatkan sebuah kisah dalam buku “Pinocchio” edisi pertama yang
berbahasa asli: Bahasa Italia. Atau kita bisa sebut buku langka lainnya, yang
masuk dalam kategori termurah, seperti edisi pertama “Rabbit is Rich” karya
John Updike, dengan harga $ 45 (Rp. 385.650), yang bahkan itu tetap lebih mahal
dari “Sarinah”.
Tapi entahlah, kedua buku itu adalah buku anak-anak dengan
harga yang tidak kanak-kanak. Mungkin bagi mereka, para kolektor, bibliofil
(pecinta buku), atau lebih parah lagi: Bibliomania (pecinta buku akut), yang
memilki nostalgia terhadap buku tersebut bukanlah hal yang terkesan “rugi” jika
harus mendapatkannya. Bisa jadi mereka tidak sedang membeli sebuah
rupa buku, melainkan membeli secercah kenangan. Karena buku (juga benda-benda
lain) sangat mungkin menjadi sebuah simbol atau sarana untuk membuka katup
kenangan yang mengalirkan ingatan-ingatan masa kecil yang indah untuk mereka.
Bahkan ada yang bilang, “Selain untuk menyampaikan kisah (puisi, informasi,
dll.), buku merupakan artefak sejarah dan tempat berkumpulnya kenangan.”
Sebuah buku bisa berharga melambung, sebenarnya dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Edisi pertama “Harry Potter and the
Philosopher’s Stone” yang bukan tergolong buku lama (terbit tahun 1997), bisa
mencapai harga $ 30.000 (Rp. 257.100.000) karena hanya dicetak sangat terbatas,
yaitu sebanyak 500 eksemplar. Selain itu, harga yang seringkali tidak masuk
akal seperti buku “The History of the Expedition Under the Command of Captains
Lewis and Clark” yang mencapai $ 139.000 (Rp. 1.191.230.000), bisa terjadi
karena buku tersebut memang benar-benar sangat langka.
Pembakaran buku (Säuberung) besar-besaran yang pernah
terjadi di Berlin pada zaman Nazi berkuasa, yang seringkali kita sebut sebagai
kejahatan terhadap buku, merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhinya
juga. Selain itu, buku lintas abad yang masih bertahan dari abad pertengahan,
tahun 1600-an (di mana pada saat itu selembar kertas merupakan barang mahal)
hingga saat ini juga tak kalah berperan. Bahkan ada juga buku terlarang dari
abad abad ke-16 karya Pietro Arentino yang membahas tentang erotika. Dan itu
adalah buku pornografi kelas berat yang menjadi mahal karena kekontroversialannya
di masa lalu (mungkin hingga saat ini, karena mempertimbangkan aspek moralnya).
Istilah “langka” dalam dunia buku sebenarnya pertama kali
digunakan dalam sebuah katalog penjualan buku di Inggris, pada bulan November
1692. Meskipun kita tidak bisa memungkiri, bahwa pencarian terhadap buku langka
telah jauh ada dari era sebelum masehi dan sempat berlangsung selama 25 abad.
Kita bisa melihatnya dari sosok Euripides yang hidup sekitar tahun 400 SM itu,
ketika banyak dicemooh lantaran sangat mencintai buku. Penyakit cinta terhadap
buku yang begitu kuat, sebagaimana telah saya sebutkan tadi, bernama “Bibliofil”,
lalu berkembang ke tahap yang lebih ekstrim dengan sebutan “Bibliomania”.
Istilah ini ditemukan oleh Pendeta Frognall Dibdin pada tahun 1809.
Inilah yang membedakan buku cetak (khususnya buku langka)
dengan e-book. Inilah misteri-misteri yang ada di balik sederhananya sebuah
buku. Buku tidak melulu tentang isi. Tidak selalu tentang apa yang bisa kita
dapatkan dari sarana informasi-pengetahuan itu.
Kolektor buku langka tidak akan membaca semua buku yang
mereka beli, saya pastikan itu. Karena sekali lagi, ini bukan tentang isi. Mereka:
para kutu buku, kolektor kelas berat, bibliomania, lebih menyukai buku
dari segi kandungan nilai dan rupa fisiknya (meskipun itu artinya bukan buku
baru dan harus bagus). Buku langka, dengan serunya perburuan padanya, keindahannya,
sejarah atau asal-usulnya, seringkali lebih memikat dari kisah (isi) yang ada
di dalamnya.
Itulah harga diri sebuah buku.
Yogyakarta, 21/11/2014
Yogyakarta, 21/11/2014
1 komentar
i like this (y) (y) (y)
BalasHapus