Buku: Antara Isi dan Harga Diri




Pernah menonton film Chef? Memang tiada hubungannya film ini dengan dunia buku. Sama sekali tidak. Tapi nampaknya film ini bisa mengantar kita dalam membicarakan sebuah cerita tentang buku. Cerita-cerita yang lebih mirip pengungkapan rahasia, terutama bagi saya yang belum terlalu banyak mengerti tentang ihwal buku dan dunianya.

Secara keseluruhan, saya kira film ini patut untuk ditonton. Dan tidak salah jika kemudian kita rekomendasikan pada kawan-kawan kita yang mungkin sudah terbius oleh nikmatnya film-film horor Indonesia yang penuh adegan sensual (baca: semi-seksual). Pendek kata: film ini bagus. Saya tak akan mengupas isi film ini dari awal hingga akhir, atau mempertanyakan bagaimana Jon Favreau bisa terinspirasi dan mau menggarapnya dengan apik. Apalagi menyanjung peran aktris dan aktor kenamaan Hollywood semacam Robert Downey Jr. dan Scarlett Johansson yang ikut ambil peran di dalamnya.

Sebenarnya saya hanya tertarik dengan latar awal film ini, yaitu California. Entah bagaimana, ada semacam alur abstrak yang mendekatkan saya dengan “dunia lain” tersebut belakangan ini. Berawal dari bulan lalu, di mana sepucuk surat penghargaan didatangkan dari sana, tepatnya dari Kota San Francisco, untuk saya. Baiklah, anggap saja memang sebuah kebetulan jika Wikimedia Foundation, sebagai pengirim surat, memang didirikan di sana. Tapi bukan itu saja, kedekatan itu muncul lagi setelah secara tidak sengaja saya menemukan buku yang bercerita panjang lebar dengan latar yang (lagi-lagi) sama: California.

Di sinilah kisah tentang buku itu dimulai.

Tapi pertama-tama saya akan katakan, bahwa membincangkan buku itu perkara yang tiada habisnya. Banyak dimensi pembahasan yang bisa dibicarakan bagi para pecinta maupun penentangnya (atau sebut saja penolak kehadirannya).  Saya jadi teringat ketika seringkali saya berdebat dengan seorang kawan perihal efektivitas buku (cetak) dan e-book (elektronik), dalam menantang kerasnya arus globalisasi yang selalu menginginkan segalanya dilakukan dengan cara instan. Kita sama-sama memilki argumen logis masing-masing dalam mengomparasikan kedua bacaan yang beda penampilan itu. Itulah yang saya bilang dengan tiada habisnya.

Mungkin terlalu lemah, jika dalam perdebatan dengan seorang kawan tadi saya hanya mengutip perkataan Russel Grandinetti, bahwa, “Buku cetak adalah teknologi yang paling kompetitif: mudah dibawa, tidak gampang pecah, memiliki resolusi tinggi, dan daya tahan baterai yang lama.” Karena itulah, cerita (baca: tulisan) ini saya hadirkan.

Memang hidup di Jogja berbeda dengan California (katakanlah: San Francisco), dalam segala hal dan ranah, dan juga tentunya dalam dunia buku. Tapi untuk lingkup lebih sempit, meskipun bukan ibukota negara, Jogja selalu berani diadu dengan kota mana pun jika hendak mengupas perihal perbukuan. Di sini, percetakan menjamur, toko buku merajalela, perpustakaan di mana-mana, bazar buku selalu terselenggara. Jika mau mengimajinasikan: Indonesia adalah sebuah rumah besar, dan Jogja adalah salah satu kamarnya yang paling banyak memiliki “jendela” untuk melihat “dunia”.

Tapi ini Indonesia, bukan Amerika Serikat. Saya baru sadar bahwa bazar, festival, pameran buku, dan lain sebagainya, yang pernah terselenggara di sini masih kalah jika dibandingkan dengan gemerlap dunia buku Paman Sam. Buku yang saya temukan tadi telah menjawabnya. Sebuah karya monumental dari Allison Hoover Bartlett yang berjudul The Man Who Loved Books Too Much. Isinya menarik, bahkan (sejujurnya) sangat menarik. Ketika saya membacanya, seolah buku itu membisikkan jawaban dan rahasia-rahasia yang selama ini masih tersimpan rapat dalam ketidaktahuan diri saya. Buku itu telah menjawab, bahwa buku cetak, sekalipun buruk rupa, tetaplah memilki nilai lebih bagi seseorang. Bahwa buku cetak, juga memilki nilai sakral yang tidak dimiliki oleh e-book. Bahwa buku cetak, juga telah melahirkan jutaan manusia penggila buku di dunia ini. Bahwa buku cetak, tetap hidup abadi dengan misterinya yang mustahil semuanya terpecahkan.

Kedekatan abstrak saya dengan California, tepatnya hadir setelah saya membaca satu baris kalimat dalam buku ini: “California International Antiquarian Book Fair 2003”. Namun dalam hal ini, terlepas dari perdebatan buku dan e-book (anggap saja sudah selesai), maupun jawaban-jawaban yang saya peroleh dari buku ini, saya lebih mengalihkan perhatian terhadap hakikat dari sebuah buku.

Di San Francisco, California, di gudang besar yang mirip gedung itu: Concourse Exhibition Center,  “California International Antiquarian Book Fair 2003” diselenggarakan. Ada sekitar 250 agen buku dan 10.000 pengunjung yang ikut meramaikan acara akbar ini. Ayolah, bukankah ini luar biasa? Jawabannya adalah “Ya”. Pameran ini adalah pameran buku terbesar yang pernah diadakan di dunia. Kata “Antiquarian” itu mengacu pada koleksi buku langka (antik). Saya rasa, dalam pameran ini tiada buku baru yang dijual. Berbeda dengan pameran-pameran mainstream yang pernah saya kunjungi, semua berbalik 150 derajat (hampir 180 derajat), yang artinya: hampir semua agen kebanyakan menjual buku-buku baru.

Tahukah apa yang dijual dan berapa harga yang ditawarkan untuk sebuah buku langka di sana? Jawabannya adalah “banyak". Di sebuah fesival buku di Jogja, saya pernah mengamati harga-harga yang dipatok untuk sebuah buku langka. Katakanlah, “Sarinah” karya Ir. Soekarno (kalau tak salah) edisi pertama, yang (saat itu) berharga Rp. 200.000. Mungkin kita yang mahasiswa harus berpuasa berhari-hari kemudian hanya untuk mendapat satu buku ini, pikir saya pendek saat itu. Kalau dilihat dari fisiknya, “Sarinah” memang tidak menarik, bahkan cenderung ada bagian yang terdistorsi secara fisik (mungkin karena ulah waktu). Tapi mau bagaimana pun, edisi pertama nampaknya tetap memilki daya tarik tersendiri.

Berawal dari perbandingan antara harga buku langka di Festival Buku Indonesia dengan “California International Antiquarian Book Fair 2003”, saya menjadi mengerti apa itu definisi dari kata “fantastis”. Dugaan saya bahwa “Sarinah” edisi pertama adalah buku mahal, ternyata salah. Pameran buku California yang diselenggarakan sebelas tahun silam itu telah menjawabnya, atau lebih luas lagi, bahwa perdagangan buku langka di dunia, Amerika Serikat khususnya, telah memberi definisi kata “fantastis” bagi kita (tak luput saya juga) yang sebelumnya awam ini.

Kita bisa dengan mudah mengakses cerita Pinokio dari internet, atau mengunduh filmnya, lalu dengan santai menikmati kisahnya. Semuanya gratis dan mungkin dilakukan. Tapi lain halnya dalam dunia buku langka. Para kolektor buku langka harus mengeluarkan uang hingga mencapai $ 80.000 (kurang lebih Rp. 685.600.000, dalam kurs dollar tahun 2003), hanya untuk mendapatkan sebuah kisah dalam buku “Pinocchio” edisi pertama yang berbahasa asli: Bahasa Italia. Atau kita bisa sebut buku langka lainnya, yang masuk dalam kategori termurah, seperti edisi pertama “Rabbit is Rich” karya John Updike, dengan harga $ 45 (Rp. 385.650), yang bahkan itu tetap lebih mahal dari “Sarinah”.

Tapi entahlah, kedua buku itu adalah buku anak-anak dengan harga yang tidak kanak-kanak. Mungkin bagi mereka, para kolektor, bibliofil (pecinta buku), atau lebih parah lagi: Bibliomania (pecinta buku akut), yang memilki nostalgia terhadap buku tersebut bukanlah hal yang terkesan “rugi” jika harus mendapatkannya. Bisa jadi mereka tidak sedang membeli sebuah rupa buku, melainkan membeli secercah kenangan. Karena buku (juga benda-benda lain) sangat mungkin menjadi sebuah simbol atau sarana untuk membuka katup kenangan yang mengalirkan ingatan-ingatan masa kecil yang indah untuk mereka. Bahkan ada yang bilang, “Selain untuk menyampaikan kisah (puisi, informasi, dll.), buku merupakan artefak sejarah dan tempat berkumpulnya kenangan.”

Sebuah buku bisa berharga melambung, sebenarnya dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Edisi pertama “Harry Potter and the Philosopher’s Stone” yang bukan tergolong buku lama (terbit tahun 1997), bisa mencapai harga $ 30.000 (Rp. 257.100.000) karena hanya dicetak sangat terbatas, yaitu sebanyak 500 eksemplar. Selain itu, harga yang seringkali tidak masuk akal seperti buku “The History of the Expedition Under the Command of Captains Lewis and Clark” yang mencapai $ 139.000 (Rp. 1.191.230.000), bisa terjadi karena buku tersebut memang benar-benar sangat langka.

Pembakaran buku (Säuberung) besar-besaran yang pernah terjadi di Berlin pada zaman Nazi berkuasa, yang seringkali kita sebut sebagai kejahatan terhadap buku, merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhinya juga. Selain itu, buku lintas abad yang masih bertahan dari abad pertengahan, tahun 1600-an (di mana pada saat itu selembar kertas merupakan barang mahal) hingga saat ini juga tak kalah berperan. Bahkan ada juga buku terlarang dari abad abad ke-16 karya Pietro Arentino yang membahas tentang erotika. Dan itu adalah buku pornografi kelas berat yang menjadi mahal karena kekontroversialannya di masa lalu (mungkin hingga saat ini, karena mempertimbangkan aspek moralnya).

Istilah “langka” dalam dunia buku sebenarnya pertama kali digunakan dalam sebuah katalog penjualan buku di Inggris, pada bulan November 1692. Meskipun kita tidak bisa memungkiri, bahwa pencarian terhadap buku langka telah jauh ada dari era sebelum masehi dan sempat berlangsung selama 25 abad. Kita bisa melihatnya dari sosok Euripides yang hidup sekitar tahun 400 SM itu, ketika banyak dicemooh lantaran sangat mencintai buku. Penyakit cinta terhadap buku yang begitu kuat, sebagaimana telah saya sebutkan tadi, bernama “Bibliofil”, lalu berkembang ke tahap yang lebih ekstrim dengan sebutan “Bibliomania”. Istilah ini ditemukan oleh Pendeta Frognall Dibdin pada tahun 1809.

Inilah yang membedakan buku cetak (khususnya buku langka) dengan e-book. Inilah misteri-misteri yang ada di balik sederhananya sebuah buku. Buku tidak melulu tentang isi. Tidak selalu tentang apa yang bisa kita dapatkan dari sarana informasi-pengetahuan itu.

Kolektor buku langka tidak akan membaca semua buku yang mereka beli, saya pastikan itu. Karena sekali lagi, ini bukan tentang isi. Mereka: para kutu buku, kolektor kelas berat, bibliomania, lebih menyukai buku dari segi kandungan nilai dan rupa fisiknya (meskipun itu artinya bukan buku baru dan harus bagus). Buku langka, dengan serunya perburuan padanya, keindahannya, sejarah atau asal-usulnya, seringkali lebih memikat dari kisah (isi) yang ada di dalamnya.

Itulah harga diri sebuah buku.


Yogyakarta, 21/11/2014

1 komentar

My Instagram